Kearifan Lokal Penduduk Raja Ampat Papua pada Alam, Sasi Jadi Aturan Mainnya

Masyarakat yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat, Papua, punya aturan tersendiri dalam mencari sumber makanan sekaligus menjaga kelestarian alam. Aturan adat yang menentukan apa yang boleh dan dilarang mereka sebut sebagai sasi.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan masyarakat yang tinggal di perkampungan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, mematuhi sasi tersebut. “Ini merupakan bentuk kearifan lokal yang telah berlangsung turun-temurun demi menjaga alam,” kata Hari Suroto kepada Tempo, Senin 23 November 2020.

Ada beragam jenis sasi yang berlaku di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Salah satunya, menurut Hari Suroto, nelayan hanya boleh melaut setiap enam sampai 12 bulan sekali, di mana selama sekitar satu hingga dua minggu, mereka dapat mengambil hasil laut sebanyak mungkin yang mereka perlukan. Setelahnya, mereka tidak boleh melaut lagi.

Apabila ingin mengambil hasil laut di luar batas waktu tersebut, Hari Suroto mengatakan, para nelayan harus pergi dari perairan Raja Ampat. Pria yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih ini menjelaskan, sasi terkadang berlaku juga pada jenis biota laut tertentu, misalnya teripang.

Tujuan dari sasi ini, dia melanjutkan, memberi kesempatan pada biota laut agar berkembang biak sebesar ukuran yang laku di pasaran. Jika sudah memenuhi syarat ukuran tertentu, barulah teripang boleh diambil dan dijual. Sasi berlaku pula pada tanaman. Masyarakat Kepulauan Raja Ampat dilarang mengambil buah di pohon, bahkan yang terjatuh dari pohon sekalipun, tanpa izin.

© Disediakan oleh Tempo.coDua bocah menaiki sampan saat bermain di pantai Sawandarek di Distrik Meos Mansar, Raja Ampat, Papua Barat, 22 November 2019. Beningnya air di kawasan Sawandarek, kita dapat melihat dari jelas, berbagai jenis ikan yang ada di kawasan wisata ini. TEMPO/Fardi Bestari

Contoh bentuk sasi dapat dilihat pada nelayan Kampung Lopintol, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat. Nelayan Kampung Lopintol umumnya mencari ikan kembung atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama ikan lema. Masyarakat Kampung Lopintol biasanya menerapkan tradisi balelema atau menyerok ikan lema.

Penangkapan ikan lema berlangsung pada malam hari dengan lampu petromaks yang diletakkan pada ujung depan perahu. Nelayan mendayung perahu ke tengah perairan yang berarus. Saat puncak musim, ikan lema yang sudah matang telur-telurnya bergerombol di permukaan air. Teluk Mayalibit menjadi lokasi pemijahan ikan ini.

Selanjutnya, nelayan tinggal menunggu rombongan ikan lema mendekati cahaya petromaks yang akan tampak seperti cahaya bulan di permukaan air. Setelah berkumpul di sekeliling perahu, nelayan menggiring ikan lema ke kolam jebakan berpagar tumpukan batu di perairan dangkal.

Pada saat gerombolan ikan lema terjebak di kolam, cahaya petromaks diredupkan. Selanjutnya nelatan memanen ikan lema dengan cara menyeroknya dengan jaring. Saat terbaik mencari ikan lema ini ketika bulan gelap. Dengan begitu, cahaya lampu akan menarik ikan bak bulan purnama.

Nelayan Kampung Lopintol, Raja Ampat, sepakat memberi jeda penangkapan ikan lema setiap hari Sabtu malam dan Minggu malam selama musim puncak ikan lema bertelur di bulan gelap. Upaya menahan diri dari eksploitasi kekayaan alam ini semata demi memberi kesempatan ikan lema bertelur.

sumber: tempo.co

Author: Bang Ferry

GEOLOGIST LIKE COFFIE

Tinggalkan komentar