
Situs Batujaya, Warisan Tarumanegara si Kerajaan Tertua di Tanah Jawa
Dekat di mata jauh di hati, begitulah nasib Situs Batujaya. Walaupun letaknya dekat dengan ibukota negara, tak banyak orang Jakarta melirik warisan budaya kerajaan tertua di Jawa itu. Yang juga memikat, perjalanan menuju Batujaya pun penuh romantika.
Penulis: Juliadi, tenaga teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Serang, Banten, untuk Majalah Intisari edisi April 2010
Ya, tak banyak orang Jakarta yang tahu bahwa di ujung barat Kabupaten Karawang — jika ditarik garis lurus dari wilayah Jakarta yang terdekat, Jakarta Utara — hanya berjarak tak lebih dari 100 km, terdapat sebuah kompleks peninggalan budaya yang cukup besar dengan ragam tinggalan yang sangat banyak.
Candi Jiwa, salah satu tinggalan masa lalu di situ Batujaya (Dok Intisari)©
Lokasi tinggalan-tinggalan budaya tersebut di dua kecamatan di Kabupaten Karawang. Batujaya dan Pakisjaya. Namun para peneliti dan arkeolog lebih kerap menyebutnya Situs Batujaya. Situs ini memiliki tinggalan antara lain gugusan candi yang diduga berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Pulau Jawa.
Peradaban tinggi
Pemandangan di situ Batujaya dimonopoli hamparan sawah yang menghijau bak permadani. Terutama saat musim tanam lewat 1-2 bulan, atau hamparan sawah menguning siap panen.
Di tengah sawah-sawah itulah kita bisa melihat bukit-bukit kecil atau dalam bahasa setempat disebut unur. Di dalam unur-unur ini berdasarkan hasil penelitian arkeologi berupa ekskavasi ditemukan tinggalan-tinggalan budaya masa lalu.
Sejak ditemukan oleh Jurusan Antropologi Universitas Indonesia pada 1984, yang ditindaklanjuti dengan penelitian arkeologi intensif sejak 1985 sampai saat ini, memang ditemukan banyak tinggalan budaya.
Hasan Djafar, arkeolog dari Universitas Indonesia, dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 menyebut 24 lokasi yang mengandung tinggalan budaya.
Ke-24 lokasi itu sebagian besar mengandung tinggalan berupa candi yang terbuat dari susunan bata. Satu dari sekian banyak candi tersebut yakni Candi Jiwa telah selesai dipugar dan bisa dinikmati oleh pengunjung.
Candi Jiwa yang telah dipugar itu hanya memperlihatkan bagian pondasi dan sebagian tubuh candi, tanpa ada tangga sebagaimana umumnya candi-candi yang ada di Indonesia. Bagian atas atau puncaknya tidak diketahui bentuk aslinya.
Hasan Djafar menggambarkan bentuk Candi Jiwa yang berdenah bujur sangkar mirip bentuk bunga teratai (padma).
Bagian atas yang ada saat ini terdapat denah struktur melingkar, diduga sebagai bekas stupa atau lapik arca Buddha, sehingga jika dibayangkan akan tampak seperti stupa atau area Buddha di atas bunga teratai yang tengah mekar, terapung di tengah telaga. Bentuk candi seperti ini belum pernah ditemukan di Indonesia.
Tak jauh dari Candi Jiwa, persisnya agak ke utara, masih di tengah persawahan, terdapat Candi Blandongan, yang sampai saat ini masih dalam tahap pemugaran oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (BP3 Serang).
Beda dengan Jiwa, di keempat sisi Blandongan terdapat tangga untuk memasuki selasar candi yang dibatasi oleh pagar langkan.
Jika memperhatikan keempat bentuk tangganya, tangga sisi Barat Laut memiliki perbedaan dengan ketiga tangga lainnya. Diperkirakan, tangga Barat Laut itu adalah tangga utama.
Yang menarik, dinding Blandongan ini kaya dengan bingkai ornamen berupa pelipit-pelipit, antara lain pelipit rata yang dikenal dengan istilah patta. Ada juga pelipit setengah lingkaran (kumuda), dan pelipit bergerigi (susunan dua lapis baya yang menonjol dan ujungnya dibentuk meruncing).
Berdasarkan hasil penelitian dan pemugaran, diduga para pendukung budaya Candi Blandongan di masa lalu telah melakukan perubahan bentuk bangunan, terutama pada dindingnya. Bukti ini terlihat dari adanya penambahan dan perubahan bentuk dindingnya seperti yang terlihat saat ini.
Candi lain di Situs Batujaya yang sudah bisa dilihat namun belum rampung dipugar adalah Candi Serut 1 atau Situs Telagajaya 1.
Dilihat dari bentuknya, Candi Serut 1 memiliki bentuk yang berbeda dengan Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Jika memperhatikan tiga bangunan candi di atas dari umurnya, tampak dan terkesan bahwa di masa lalu di situs ini berkembang sebuah peradaban tinggi.
Peninggalan Tarumanegara
Menurut hasil penelitian para arkeolog di Batujaya, peradaban yang pernah berkembang di situs ini telah ada sejak zaman prasejarah. Namun yang menonjol adalah peninggalan dari zaman klasik awal di Indonesia, yaitu berupa bangunan candi.
Di situs ini telah pula ditemukan beberapa prasasti, meski belum satu pun prasasti itu memberitakan masa jaya candi-candi di Situs Batujaya.
Prasasti-prasasti yang ditemukan menggunakan huruf Pallawa, berisi mantra-mantra yang berkaitan dengan kepercayaan agama Buddha, sehingga oleh para ahli candi-candi di Batujaya dinyatakan sebagai candi Buddha.
Selain prasasti, temuan lain yang membuktikan candi-candi itu sebagai candi Buddha adalah temuan amulet atau tanda-tanda ziarah saat seseorang mengunjungi tempat suci. Tanda itu juga biasa dipakai sebagai pelepas nazar atau tolak bala.
Dalam amulet terdapat cerita mengenai sarasvati yang isinya mengungkap Buddha ketika mendapat ilham mengenai masalah-masalah keduniawian. Pada beberapa amulet yang ditemukan juga terdapat tulisan yang menggunakan huruf Pallawa dari abad ke-5 – 6 M.
Berdasarkan bentuk dan bahan candi, huruf yang dipakai pada prasasti, bentuk dan cerita pada amulet, berita Cina yang dilaporkan oleh Fa-Hsien pada abad ke-5 dan Hui-Ning pada tahun 664/665 yang datang ke Holing (Pulau Jawa), dan isi prasasti Tugu yang ditemukan di Cilincing, Jakarta Utara, yang memberitakan penggalian Sungai Candrabhaga pada masa Pemerintahan Purnawarman Sang Raja Tarumanegara, isi prasasti Kota Kapur yang menyebutkan usaha Sriwijaya menaklukkan Bumi Jawa, dan isi prasasti Kebon Kopi II yang menyebutkan pemulihan kekuasaan Raja Sunda, Hasan Djafar mengambil kesimpulan bahwa secara relatif peradaban yang berlatar belakang agama Buddha di Situs Batujaya berasal dari dua tahap.
Pertama, dari abad 5 – 8 di bawah pengaruh Kerajaan Tarumanegara (kerajaan tertua di Pulau Jawa) dan tahap kedua abad 7 – 8 di masa pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Menyeberangi Sungai Citarum
Keengganan orang mengunjungi situs Batujaya, barangkali juga disebabkan posisinya yang agak nyempil.
Jika Anda naik angkutan umum misalnya, perjalanan bisa dimulai dari Terminal Cikarang. Di terminal itu tersedia angkot menuju SGC Mall (terminal lama), lalu meneruskan perjalanan menggunakan kendaraan umum melewati daerah-daerah Sukatani, Garon, dan Cabangbungin.
Sepanjang perjalanan, khususnya selepas Cikarang, Anda bakal disuguhi pemandangan sawah nan hijau atau aktivitas petani yang tengah memanen padi.
Atau para peternak bebek yang setiap pagi menggiring ternaknya ke sawah yang habis dipanen, lalu memasukkannya kembali ke kandang di waktu petang.
Peternak bebek ini umumnya datang dari luar daerah dan hidup secara nomaden alias berpindah-pindah, mengikuti keberadaan sawah-sawah yang baru dipanen.
Fenomena di dalam elf tidak kalah menarik dengan pemandangan di luar.
Jika beruntung, Anda bakal mendengar percakapan para penampang dalam dialek khas. Meski menyebut diri mereka sebagai Orang Betawi, dialek mereka berbeda dengan logat Betawi pada umumnya.
Dialek mereka lebih menyerupai bahasa Betawi Ora alias Betawi Pinggiran.
Setelah sampai di Tugu Prapatan Garon, ambil kanan lurus sampai ketemu Jalan baru Cabangbungin ambil kanan hingga bertemu dengan Jembatan Citarum-Batujaya. Lokasi situs tak jauh dari situ.
Tapi jika ingin jalur lebih asyik, dari Tugu Prapatan Garon lurus sampai bertemu dengan SMP Cabangungin.
Dari situ, perjalanan harus dilanjutkan dengan eretan atau tambangan alias perahu yang bakal membantu Anda menyeberangi Sungai Citarum yang membelah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang.
Alat transportasi satu ini digerakkan oleh tenaga manusia dengan menggunakan tarikan tali yang dikaitkan di pohon-pohon besar di pinggir sungai. Walau “berbensin” nasi, jangan anggap enteng, moda transportasi alami ini sanggup menyeberangkan truk berukuran sedang bermuatan penuh gabah.
Ikan yang banyak hidup di Sungai Citarum ini gabus. Mungkin itu sebabnya makanan yang terkenal di sepanjang aliran sungai ini adalah sayur gabus. Semacam pindang memakai picung sejenis asam kandis sehingga rasanya asam-asam manis.
Bagi yang belum pernah makan sayur gabus, boleh mencoba. Dimakan bersama nasi panas dan sambal terasi, rasanya dijamin menggoyang lidah.
Setelah menyeberangi Citarum, sisa jarak sekitar 3 km hanya bisa ditempuh dengan ojek, hingga lokasi situs.
Perjalanan menuju Batujaya bisa juga ditempuh lewat Karawang Barat. Sekeluar pintu tol Karawang Barat, lanjutkan perjalanan ke Terminal Tanjung Pura, lalu menuju Rengasdengklok.
Dari Rengasdengklok, ada kendaraan angkutan pedesaan menuju Pasar Batujaya. Dari lokasi terakhir ini, perjalanan menuju situs dilanjutkan dengan ojek.
Alternatif jalur ketiga, lewat Jakarta, melewati Tanjung Priok, Marunda, Tarumajaya, lalu menyusuri jalan ke arah Kecamatan Cabangburin, Kabupaten Bekasi. Setelah menyeberangi Sungai Citarum, sampailah kita di situs Batujaya. Namun di jalur ketiga ini, kendaraan umum yang tersedia hanya ojek.
sumber: intisari