Pertambangan

22 Mineral Strategis Ditetapkan: Poin Penting Implikasi Hilirisasi Mineral

Dalam upaya mengoptimalkan hilirisasi mineral dalam negeri untuk mengembangkan industri strategis (“Optimalisasi Hilirisasi”), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri ESDM”) telah menerbitkan Keputusan No. 69.K/MB.01/MEM.B/2024 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Strategis (“Kepmen ESDM 69/2024”), yang telah berlaku sejak 1 April 2024.[1] Pada intinya, mineral strategis terdiri dari mineral-mineral yang memiliki nilai strategis yang dapat digunakan sebagai bahan baku Optimalisasi Hilirisasi untuk meningkatkan daya saing negara dalam perdagangan global, serta meningkatkan pendapatan negara dan perekonomian nasional.[2]

Perlu diketahui, pemberlakuan Kepmen ESDM 69/2024 sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 14 of 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015 – 2035 (“PP 14/2015”), yang mengatur strategi pengembangan industri nasional, termasuk industri strategis.[3] Industri strategis merupakan industri prioritas yang memenuhi kebutuhan pokok untuk kesejahteraan publik, menghasilkan nilai tambah dari sumber daya alam strategis, atau berkaitan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara.[4]

Pengaturan klasifikasi mineral strategis yang baru juga akan menjadi acuan tata kelola komoditas mineral, yang akan fokus pada peningkatan nilai tambah dalam negeri melalui hilirisasi mineral.[5] Tujuan ini sejalan dengan Peraturan Menteri ESDM No. 25 of 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM No. 17 tahun 2020 (selanjutnya disebut “Permen ESDM 25/2018”).[6] Permen ESDM 25/2018 mewajibkan seluruh komoditas mineral (baik mineral logam maupun non-logam) yang akan diekspor untuk melakukan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas mineral sesuai batasan minimum yang ditentukan dalam Lampiran Permen ESDM 25/2018.[7]

Mengingat pentingnya komoditas mineral strategis, khususnya bagi industri strategis yang akan melakukan Optimalisasi Hilirisasi, maka Indonesia Legal Brief (“ILB”) edisi ini memberikan ringkasan atas ketentuan yang diatur dalam Permen ESDM 69/2024 dan dampak yang mungkin ditimbulkan. Ringkasan tersebut dirinci sebagai berikut:

  1. Mineral Strategis: Kriteria, Tujuan, dan Klasifikasi yang Berlaku;
  2. Hilirisasi Mineral: Sengketa Larangan Ekspor; dan
  3. Mengantisipasi Dampak Hilirisasi Mineral Strategis.

Mineral Strategis: Kriteria, Tujuan, dan Klasifikasi yang Berlaku

Pada intinya, mineral strategis yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM 69/2024 didasarkan atas lima kriteria. Secara khusus, mineral strategis harus memiliki kriteria berikut:[8]

Menjadi bahan baku untuk industri strategis (misalnya industri kesehatan, industri kendaraan listrik, industri pembangkitan energi, industri pertahanan, dan lain sebagainya);Berpotensi mengendalikan pasar global melalui dominasi sumber daya dan/atau cadangan;Memiliki kontribusi penerimaan negara dalam jumlah besar pada sektor pertambangan mineral;Memiliki kontribusi dominan terhadap cadangan devisa negara; dan/atauDipergunakan secara masif oleh industri strategis.

Sebagaimana diuraikan dengan singkat di atas, penetapan mineral strategis harus menjadi acuan bagi kementerian dan/atau lembaga terkait serta pemerintah daerah dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan penggunakan mineral strategis, sebagai berikut:[9]

Menyediakan pengaturan dan kebijakan tata kelola dan tata niaga industri berbasis mineral dan mineral;Memberikan izin usaha kepada pengusaha pertambangan;Menetapkan kebijakan yang mengatur kegiatan eksplorasi pertambangan untuk meningkatkan sumber daya alam dan/atau cadangan;Menetapkan harga acuan komoditas mineral;Menyusun kebijakan yang mengatur prioritas komoditas mineral untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;Menetapkan kebijakan fiskal yang berlaku di sektor pertambangan mineral; dan/atauMenetapkan kebijakan kerja sama internasional.

Dari sisi mineral strategis sendiri, kini terdapat 22 mineral yang tergolong ke dalam mineral strategis beserta komoditas tambangnya masing-masing, yang secara lengkap tercantum dalam Lampiran Kepmen ESDM 69/2024.[10] Mineral strategis tersebut dirinci sebagai berikut:[11]

Daftar Mineral StrategisJenis Komoditas Pertambangan
AluminiumBauksit
Antimoni
BesiBijih besi dan pasir besi
Emas
FosforFosfat
Galena
Kobal
KromiumKromit
Logam tanah jarang
Magnesium
Mangan
Molibdenum
Nikel
Perak
Platinum
Seng
SilikaPasir kuarsa, kuarsit, kristal kuarsa
Tembaga
Timah
Titanium
Vanadium
ZirkoniumZirkon

Namun, perlu diingat bahwa komoditas mineral strategis yang disebutkan di atas akan dilakukan reviu setiap tahun atau sewaktu-waktu jika diperlukan.[12]

Hilirisasi Mineral: Sengketa Larangan Ekspor

Mengingat pengolahan dan/atau pemurnian mineral kini diwajibkan di Indonesia, sebagaimana diuraikan di atas, akhir-akhir ini telah dilakukan berbagai kegiatan hilirisasi mineral. Menurut pejabat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, hilirisasi mineral telah membuahkan hasil positif, antara lain menciptakan lapangan kerja, meningkatkan surplus perdagangan, dan menguatkan stabilitas makroekonomi nasional.[13]

Akan tetapi, meskipun kegiatan hilirisasi mineral dapat memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia, penerapan kebijakan hilirisasi, khususnya larangan ekspor mineral mentah, telah memicu kontroversi di tingkat internasional. Larangan ekspor sendiri awalnya diatur dalam Permen ESDM 25/2018. Tabel berikut memuat komoditas yang dilarang ekspor serta tanggal berlakunya:

Komoditas MineralTanggal Mulai Larangan Ekspor Mineral
Bijih nikel[14]1 Januari 2020
Bijih bauksit[15]11 Juni 2023
Raw minerals[16]

Berbagai industri baja internasional telah mengajukan protes terhadap larangan ekspor yang diuraikan di atas, karena sangat bergantung pada impor bijih nikel dari Indonesia.[17] Kebijakan hilirisasi yang baru akan berdampak pada peningkatan biaya produksi bagi perusahaan asing karena harus membangun smelter di Indonesia. Persyaratan ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU 4/2019”), yang mewajibkan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian mineral untuk didirikan di dalam negeri.[18]

Penentangan terhadap persyaratan ekspor mineral yang baru memuncak ketika Uni Eropa (“UE”) mengajukan keberatan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – “WTO”) terhadap larangan ekspor bijih nikel Indonesia dan persyaratan pengolahan dalam negeri pada tahun 2019. UE menuduh Indonesia telah melanggar General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan prinsip-prinsip pasar bebas dan penghapusan pembatasan. WTO pada akhirnya memutus Indonesia kalah dalam kasus ini, karena Indonesia tidak memenuhi kewajiban internasional secara konsisten.[19] Selain itu, WTO juga menyatakan bahwa industri hilirisasi Indonesia belum cukup matang untuk mendukung komoditas ini.[20]

Perlu diketahui bahwa Indonesia telah menyampaikan kepada Dispute Settlement Body (DSB) WTO tentang keinginannya untuk mengajukan banding atas sengketa tersebut kepada Badan Banding WTO.[21] Namun, hingga saat ini, Indonesia masih menunggu jadwal pengajuan banding tersebut, yang masih tertunda karena adanya penangguhan Badan Banding tersebut.[22]

Mengantisipasi Dampak Hilirisasi Mineral Strategis

Tujuan akhir dari Optimalisasi Hilirisasi adalah meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan global dan memajukan perekonomian nasional. Terkait hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (“Menko Perekonomian”) menyatakan bahwa Optimalisasi Hilirisasi merupakan langkah penting dalam mengembangkan kemampuan teknologi, permodalan, dan finansial yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan industri. Salah satu tujuan Optimalisasi Hilirisasi adalah mendorong pembangunan smelter dengan memberikan berbagai insentif (misalnya tax holidaytax allowance, dukungan infrastruktur, dan lain sebagainya).[23]

Menko Perekonomian juga menegaskan bahwa pengembangan industri mineral akan memberikan efek multiplier bagi masyarakat Indonesia, termasuk meningkatkan pendapatan negara serta mebambah daya serap tenaga kerja dan kemandirian ekonomi masyarakat sekitar. Akan tetapi, Menko Perekonomian juga mengatakan bahwa Optimalisasi Hilirisasi harus dilaksanakan sejalan dengan praktik penambangan yang baik dan menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).[24]

Penting untuk dicatat, penerapan Optimalisasi Hilirisasi juga memiliki sejumlah tantangan. Sebagai contoh, tabel di bawah ini merangkum tantangan yang mungkin timbul atas Optimalisasi Hilirisasi aluminium (aluminium merupakan salah satu mineral strategis yang diatur Kepmen ESDM 69/2024), sebagaimana disampaikan Menteri Perindustrian:[25]

Ketersediaan dan kesiapan prasarana dan energi untuk fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian mineral;Ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia untuk pengembangan dan pengoperasian fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian mineral;Aspek teknologi dan permodalan untuk penelitian dan pengembangan kegiatan Optimasi Hilirisasi;Aspek logistik kegiatan Optimalisasi Hilirisasi; danResistensi pihak asing terkait kebijakan Optimalisasi Hilirisasi.

Sumber: hukumonline.com

Author: F Nababan

Leave a Reply