Bukit Asam (PTBA) Tunggu Penugasan Pemerintah Terkait DME
Emiten batu bara PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) menyampaikan akan menunggu penugasan pemerintah terkait hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Corporate Secretary Bukit Asam Niko Chandra menuturkan saat ini secara global, baru China yang mengembangkan realisasi hilirisasi batu bara menjadi DME. Menurutnya, hilirisasi di China tersebut bisa berjalan karena pemerintah China memberikan berbagai macam insentif dan dukungan dalam bentuk penugasan.
“Kalau kami berkaca apa yang dilakukan China, itu memang intervensi pemerintah sangat luar biasa, mulai dari insentif dan dukungan salah satunya dalam bentuk penugasan,” kata Niko dalam Media Gathering PTBA, Sabtu (30/11/2024).
Menurut Niko, PTBA sebagai BUMN ini memiliki salah satu fungsi, yaitu untuk pelayanan publik. Dengan hal tersebut, menurutnya PTBA membutuhkan penugasan dari pemerintah untuk menjalankan program DME.
Sebelumnya, PTBA diketahui tengah menjalin komunikasi intensif dengan East China Engineering Science and Technology Co.LTD. untuk melanjutkan program gasifikasi batu bara menjadi DME. Sejauh ini, realisasi proyek terkendala teknologi dan tingkat keekonomian proyek.
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan perusahaan China itu menjadi calon mitra paling kuat belakangan yang diharapkan dapat menggantikan Air Products & Chemical Inc (APCI), perusahaan Amerika Serikat (AS) yang jadi rekanan awal PTBA dalam proyek gasifikasi batu bara tersebut.
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengingatkan para bos perusahaan untuk segera menjalankan hilirisasi batu bara.
Menurut Bahlil, hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau proyek gasifikasi batu bara harus terus dikerjakan. DME selama ini ditargetkan bisa menjadi pengganti liquefied petroleum gas (LPG).
Oleh karena itu, DME menjadi keniscayaan demi menekan impor LPG yang masih tinggi. Hilirisasi batu bara saat ini masih jalan di tempat.
Bahlil juga menuturkan Indonesia masih ketergantungan impor LPG. Dia menyebut industri dalam negeri hanya mampu memproduksi LPG sekitar 2 juta ton per tahun.
Sementara itu, konsumsi LPG dalam negeri mencapai 8 juta ton. Karena itu, RI masih mengimpor sekitar 6 juta ton LPG senilai US$3,45 miliar per tahun.
sumber: bisnis.com