ESDM Disebut Berencana Pangkas Kuota Produksi Nikel Besar-besaran Tahun Depan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk memangkas besar-besaran kuota produksi nikel guna mendongkrak harga bahan baku baterai itu di pasaran.
Dilansir dari Bloomberg, Jumat (20/12/2024), narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa Kementerian ESDM berencana untuk mengurangi kuota produksi bijih nikel menjadi 150 juta ton pada tahun depan. Jumlah tersebut turun signifikan dibandingkan kuota tahun ini yang sebesar 272 juta ton.
Diskusi mengenai besarnya potensi pemangkasan kuota sedang berlangsung di dalam pemerintahan, kata orang-orang yang mengetahui masalah tersebut. Langkah pembatasan produksi secara signifikan disebut kemungkinan akan ditentang oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Investasi karena akan berdampak pada pendapatan pajak dan juga akan berisiko berdampak buruk pada investasi di sektor nikel.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno telah memberi sinyal bahwa kementerian bakal membatasi produksi produk nikel demi menjaga harga tetap tinggi di pasaran global. Tri mengatakan, pembatasan produk nikel kian relevan di tengah tingginya konflik geopolitik saat ini.
“Nikel kita mulai atur produk apa di pasar jangan sampai over, jadi optimal saja. Nanti kita batasi produk nikel yang jenuh di pasar supaya harga naik,” kata Tri dalam acara Bisnis Indonesia Economic Outlook di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Namun, dia tak memerinci kapan pembatasan produk nikel itu bakal berlaku. Tri hanya mengatakan bahwa di tengah konflik global, Indonesia harus memiliki daya tahan.
“Saya sepakat tidak baik-baik saja [kondisi dunia], ini challenge bagi kita terutama Indonesia dengan komoditas yang ada bisa berperan lebih,” ucapnya.
Adapun, harga nikel global anjlok sebesar 45% pada 2023 dan tak pulih hingga tahun ini. Melonjaknya pasokan dari Indonesia, yang kini menyumbang lebih dari separuh produksi nikel dunia, dan pertumbuhan permintaan yang lebih lambat dari perkiraan telah membebani pasar dan memaksa beberapa produsen di negara lain untuk menghentikan operasinya.
Belum ada tanda-tanda pemulihan tahun ini karena ekonomi China, konsumen nikel terbesar di dunia, mengalami kemerosotan yang berkepanjangan. Bahkan, smelter-smelter di Indonesia, yang sebagian besar dimiliki oleh perusahaan-perusahaan China, telah merasakan dampaknya, terutama karena harga bijih yang tinggi akibat ketatnya suplai lokal telah mengurangi margin mereka.
sumber: bisnis.com