Indonesia Disebut Berpeluang Rebut Pasar Tembaga Global pada 2028
Indonesia memiliki peluang besar untuk merebut pasar tembaga global pada 2028 seiring dengan proyeksi penurunan produksi dunia.
Pada saat yang sama, kebutuhan tembaga diperkirakan meningkat 4%-5% setiap tahunnya. Hal ini disampaikan Ketua Indonesian Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau, dalam acara CEO Insight di Jakarta, Selasa (26/11).
“Tembaga akan menjadi salah satu komoditas yang dibutuhkan dunia pada tahun-tahun yang akan datang. Karena *green technology* tadi, kebutuhan tembaga dan nikel akan makin tinggi,” ujar Rachmat.
Indonesia, yang memiliki cadangan tembaga terbesar ketujuh di dunia, diharapkan memanfaatkan peluang ini dengan bijak. Menurut Rachmat, produksi tembaga Indonesia pada 2028 diproyeksikan mencapai 1,2 juta hingga 1,4 juta ton.
Dari jumlah tersebut, kebutuhan domestik diperkirakan hanya sekitar 350 ribu ton. “Sisanya harus kita manfaatkan untuk *downstream* industri tembaga sehingga kita tidak lagi mengekspor katoda tembaga,” tambahnya.
Dalam lima hingga tujuh tahun terakhir, sektor pertambangan Indonesia didorong untuk melakukan hilirisasi melalui pembangunan smelter. Namun, Rachmat mencatat bahwa hasil produk hilirisasi tersebut sebagian besar masih diekspor karena kurangnya industri domestik yang mampu menyerapnya.
“Saat downstream produk sudah jadi, itu semua justru diekspor. Artinya, tidak ada penyiapan bagaimana industri baru atau perusahaan baru bisa menyerap produk hasil dari smelter tadi,” katanya.
Saat ini, tembaga merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Pada 2023, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China sebagai tujuan utama ekspor bijih tembaga Indonesia, dengan volume mencapai 684,35 ribu ton atau 22,9% dari total ekspor nasional.
Jepang dan Korea Selatan masing-masing mengimpor 654,24 ribu ton dan 446,77 ribu ton tembaga dari Indonesia.
Untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, pemerintah akan melarang izin ekspor konsentrat tembaga mulai Januari 2025. Namun, aturan ini diperkirakan akan berdampak pada penerimaan negara.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, memperkirakan potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp10 triliun saat aturan tersebut diberlakukan.
Langkah hilirisasi dan optimalisasi industri domestik diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah komoditas tembaga Indonesia di masa depan.
sumber: kontan.co.id