Lebih Mahal dari Emas, Logam Tanah Jarang Ternyata Ada di Bangka Belitung dan Bakal Dikelola
Logam Tanah Jarang (LTJ) menjadi isu seksi di masa depan bisnis pertambangan Indonesia. Bangka Belitung ditenggarai menyimpan harta karun tersebut bersama timah.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelono mengatakan bahwa Indonesia menyimpan potensi Logam Tanah Jarang, namun sejauh ini Indonesia masih perlu banyak belajar mengenal mineral yang disebut mineral kritis tersebut
Mengingat, sejauh ini baru China yang paling pesat dalam pengembangan LTJ.
“Namanya juga mineral jarang, keberadaannya hanya di lokasi tertentu, gak semua negara punya. Karena jarang, hukum ekonomi barang langka dan jarang menjadi mahal, lebih jauh dari batu bara misalnya, coba dilihat lithium berapa harganya. Tapi memang mahal itu per gramnya,” ungkap Eko Budi, di Jakarta, Rabu (10/8/2022).
“Namun potensi itu ada, tahunya dari mineral kritis tadi sebenarnya sudah dideteksi keberadaannya bersamaan dengan mineral utama saat menggali timah, di situ ada LTJ nya ternyata,” kata dia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan eksplorasi terkait potensi logam tanah jarang di Bangka Belitung. Hal ini merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi sumber daya dan cadangan logam tanah jarang.
Adapun estimasi sumber daya logam tanah jarang di Bangka mencapai 350 ribu ton, yang dapat diolah untuk kebutuhan industri pertahanan maupun bahan baku baterai kendaraan listrik.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan eksplorasi detil di Bangka Belitung berada di Bangka Selatan. Namun dia tidak membeberkan secara rinci lokasi eksplorasi tersebut.
“Estimasi sumber daya Logam Tanah Jarang sebesar 350 ribu ton,” kata Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (11/4/2022).
Beberapa waktu lalu, Ridwan Djamaluddin yang kini menjadi Penjabat Gubernur Bangka Belitung kembali mengungkit soal keberadaan Logam Tanah Jarang di Bangka Belitung.
Dikatakannya, sejauh data yang ada, wilayah kita adalah pemilik sumber daya yang paling banyak.��
“Kita tahu bahwa logam tanah jarang ini ke depan akan banyak pemanfaatannya, akan menjadi sumber material masa depan, tapi kita belum menguasai teknologinya,” kata Ridwan Djamaluddin.
Apa itu Rare Earth?
Rare Earth Elements (REE) atau Unsur Tanah Jarang (UTJ) adalah unsur penting yang digunakan pada berbagai produk yang kita gunakan sehari-hari seperti telepon seluler, hard drive, lensa kamera, microwave, peralatan medis, persenjataan canggih maupun berbagai produk teknologi tinggi lainnya.
Dikutip dari laman Badan Geologi, REE adalah 17 unsur dalam kerak bumi yang terdiri dari 15 unsur logam lanthanides (La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Lu) ditambah scandiun dan yitrium.
Sebenarnya, unsur-unsur tersebut tidak sepenuhnya langka dan terdapat dalam jumlah cukup banyak dalam kerak bumi.
Hanya saja disebut unsur jarang karena unsur-unsur tersebut cukup sulit diperoleh dalam jumlah signifikan sesuai kebutuhan kehidupan modern saat ini.
Karena sifatnya yang unik REE tidak bisa digantikan oleh komponen lainnya dalam menunjang perkembangan teknologi modern.
Sulitnya memperoleh REE dengan jumlah yang signifikan menyebabkan REE menjadi mahal harganya.
REE biasanya ditemukan dalam beberapa bentuk mineral, seperti monasit, xenotime, dan bastnaesite.
Namun beberapa penelitian terbaru di luar negeri menunjukkan batubara juga dapat mengandung REE dengan kadar setara dengan kadar REE yang ditemukan pada mineral pembawa REE.
Berdasarkan penyelidikan Badan Geologi periode tahun 2011 hingga tahun 2014 ditemukan indikasi timah bersama LTJ dalam bentuk monasit dan xenotim.
Sedangkan pada jalur barat� ditemukan indikasi di bagian daratan Sumatera bagian timur.
Beberapa ahli geologi terdahulu telah melakukan penyelidikan dan batuan induknya mengalami pelapukan kimiawi secara intensif pada kondisi hangat.
Granit tipe-S di bagian utara Pulau Bangka (Granit Klabat) merupakan salah satu jenis batuan granit yang kaya kandungan LTJ.
Fungsi Rare Earth
1. Rare Earth sebagai komponen kendaraan listrik dan daya baterai
Beberapa pon senyawa Rare Earth ada di dalam baterai yang memberi daya pada setiap kendaraan listrik dan kendaraan listrik hibrida, dikutip dari Geology.
Permintaan baterai yang dibuat dengan senyawa tanah jarang akan naik lebih cepat, karena kekhawatiran perubahan iklim, dan masalah lain mendorong penjualan kendaraan listrik dan hibrida.
2. Rare Earth juga digunakan sebagai katalis, fosfor, dan senyawa pemoles.
Ini digunakan untuk pengendalian polusi udara, layar yang menyala pada perangkat elektronik, dan pemolesan kaca berkualitas optik.
Semua produk tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan permintaan.
Zat lain dapat menggantikan unsur Rare Earth dalam kegunaannya, namun biasanya kurang efektif dan mahal.
3. Rare Earth sebagai bahan peralatan militer
Rare Earth berguna untuk membuat beberapa peralatan militer seperti kacamata penglihatan malam, senjata berpemandu presisi, peralatan komunikasi, peralatan GPS, baterai, dan elektronik pertahanan lainnya.
Selain itu Rare Earth dijadikan bahan utama membuat paduan yang sangat keras pada kendaraan lapis baja dan proyektil yang pecah saat terkena benturan.
4. Magnet Rare Earth digunakan dalam turbin angin.
Beberapa turbin besar membutuhkan dua ton magnet tanah jarang.
Magnet ini sangat kuat dan membuat turbin sangat efisien.
Magnet tanah jarang digunakan dalam turbin dan generator di banyak aplikasi energi alternatif.
5. Fungsi lainnya
Berikut ini rincian kandungan dalam Rare Earth dan kegunaannya:
– Lanthanum, sebagai bahan kacamata penglihatan malam
– Neodymium, sebagai bahan pencari jangkauan laser, sistem panduan, komunikasi
– Europium, sebagai bahan fluoresen dan fosfor dalam lampu dan monitor
– Erbium, sebagai bahan amplifier dalam transmisi data serat optik
– Samarium, sebagai bahan magnet permanen yang stabil pada suhu tinggi, senjata berpemandu presisi, dan bahan produksi “white noise” dalam teknologi stealth.
REE juga Terdapat di dalam Batubara
Kementerian ESDM menyebutkan, batubara terdiri dari komponen organik dan non organik.
Keberadaan REE pada batubara berasosiasi dengan komponen non organiknya.
Proses pembakaran batubara di PLTU akan menghilangkan komponen organik dan menyisakan komponen non organik.
Kemudian, proses ini mengakibatkan pengkayaan kandungan REE pada abu hasil pembakaran batubara.
Kadar REE dalam fly ash batubara diindikasikan 10 kali lebih besar dibandingkan di dalam batubara itu sendiri.
Penelitian pada fly ash dari berbagai batubara peringkat tinggi dunia menunjukkan kadar REE rata rata sebesar 445 ppm, atau setara dengan REE dalam mineral yang telah diusahakan secara komersial.
Sedangkan penelitian di Indonesia tentang REE dalam batubara masih sangat terbatas.
Penelitian yang dilakukan terhadap batubara Bangko Sumatera Selatan menunjukkan, batubara tersebut memiliki kadar REE sebesar 2,4 hingga 118,4 ppm.
Dengan asumsi kadar REE dalam fly ash 10 kali lipat kadar REE dalam batubara, maka potensi REE dalam fly ash batubara Bangko diperkirakan bisa mencapai sekitar 1000 ppm.
Angka tersebut adalah jumlah yang cukup besar dan menjanjikan untuk diekstrak secara komersial.
Diperkirakan Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang signifikan yaitu sebesar 166milyar ton dengan cadangan sekitar 37milyar ton.
Selain itu, lebih dari 48 persen pembangkit listrik yang beroperasi saat ini menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Pada tahun 2017, konsumsi batubara pada beberapa PLTU di Indonesia tercatat sebesar 82 juta ton.
Proses pembakaran di PLTU untuk jumlah tersebut menghasilkan residu abu batubara sebesar kurang lebih 4,93 juta ton dengan rincian 0,78 juta ton berupa bottom ash dan 4,20 juta ton berupa fly ash.
Fly ash batubara jika tidak diutilisasi akan dianggap sebagai produk buangan.
Proses ekstraksi REE dari fly ash batubara berpotensi meningkatkan nilai tambah batubara.
Dengan asumsi kadar REE dalam fly ash sebesar 400 hingga 1000 ppm, maka potensi REE dalam abu batubara Indonesia diperkirakan cukup besar.
Saat ini Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) tengah melakukan studi terkait potensi REE dalam batubara Indonesia.
Studi dilakukan bekerjasama dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Hasil studi diharapkan dapat mengungkap potensi REE dalam batubara Indonesia dan membuka peluang peningkatan nilai tambah batubara serta peningkatan pendapatan negara melalui produksi REE dari batubara Indonesia.
Lebih jauh, produksi REE akan juga berarti membuka peluang berdirinya berbagai industri modern di Indonesia yang artinya juga membuka banyak lapangan kerja baru.
Lebih Mahal dari Emas
Sementara itu, melansir kompas.com, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap potensi kandungan logam tanah jarang atau rare earth di dalam lumpur Lapindo.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair) Ganden Supriyanto, memberikan penjelasan mengenai apa itu rare earth.
Ganden menuturkan bahwa logam tanah jarang atau rare earth di dalam rumus kimia sistem periodik masuk ke dalam golongan lantanida dan aktanida.
Selain masuk ke dalam golongan lantanida dan aktanida, logam tanah jarang juga disebut sebagai logam transisi.
Logam itu sangat penting dan memiliki harga yang cukup tinggi karena digunakan untuk teknologi tinggi seperti campuran logam pada bidang meteorologi.
�Logam tanah jarang ini sangat penting kaitannya pada beberapa bidang tertentu seperti bidang meteorologi untuk pembuatan pesawat luar angkasa, lampu energi tinggi, dan semi konduktor,” ucap Ganden dilansir dari laman Unair.
Sehingga logam tersebut sangat mahal, bahkan jauh lebih mahal dibandingkan emas, dan platina.
Lebih lanjut, Gaden menjelaskan bahwa logam tanah jarang merupakan jenis logam lantanida dan aktinida yang meliputi beberapa logam di dalamya seperti litium, dan scandium.
Logam itulah yang ditemukan di lumpur Lapindo Sidoarjo.
Selama ini, litium banyak digunakan sebagai bahan pembuatan baterai, terutama baterai mobil listrik.
Temuan logam itu terhitung penting kaitanya karena ke depan semua kendaraan harus bebas emisi, sehingga mobil listrik lebih banyak digunakan.
Selain potensi dari pemanfaatan litium, scandium juga memiliki potensi tak kalah besar.
Scandium banyak digunakan sebagai bahan pembuatan lampu berteknologi tinggi.
Karena logam scandium memiliki daya tahan yang kuat, sehingga logamnya tidak meleleh meskipun lampu tersebut memiliki watt yang sangat tinggi.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan lampu berteknologi tinggi, scandium juga banyak digunakan untuk semi konduktor.
�Penemuan logam tanah jarang di Lumpur Lapindo Sidoarjo memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar karena bernilai tinggi dan sangat penting untuk teknologi tinggi ke depan,� tutupnya.
Sebaran Rare Earth di Indonesia
Dilansir dari World Today News, Indonesia sendiri memiliki potensi menjadi lokasi penyebaran�rare�earth.
Mineral yang terkandung dalam�rare�earth�berpeluang untuk dibudidayakan sebagai produk sampingan yang dapat memberikan nilai tambah.
Tercatat beberapa wilayah Indonesia menjadi Jalur timah Asia Tenggara di antaranya Kepulauan Karimunjawa, Singkep, Bangka serta Belitung.
Temuan terbaru didapat di Sidoarjo, Jawa Timur.
Kementerian ESDM� menemukan fakta mengejutkan tentang kandungan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Lumpur Lapindo yang lama dipandang jadi masalah, kini punya potensi menjadi berkah tersendiri bagi Indonesia.
Tak ada yang menyangka lumpur panas yang jadi bencana bagi masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya itu ternyata mengandung nilai tak terkira.
Lumpur Lapindo yang seolah tidak berguna, kini menjelma jadi harta karun incaran dunia hingga dinilai lebih mahal dari emas.
Hal ini menyusul adanya temuan ilmiah terkait lumpur Lapindo.
Pemerintah dalam penelusuran Kementerian ESDM menemukan fakta baru Lumpur Lapindo mengandung logam tanah jarang atau dikenal dengan singkatan LTJ.
Seperti diketahui, bencana Lumpur Lapindo ini pertama kali terjadi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo pada 29 Mei 2006.
Hal ini bermula dari kebocoran sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas.
Mengutip pemberitaan Kompas (30/5/2006), semburan lumpur disertai gas keluar dari permukaan tanah melalui rawa yang ada di sekitar lokasi pengeboran.
Dalam sepekan semburan lumpur terus meluas menggenangi areal sekitar lokasi pengeboran.
Semburan Lumpur Lapindo itu setidaknya menggenangi 16 desa di tiga kecamatan.
Total 10.426 unit rumah terendam lumpur dan puluhan ribu jiwa terpaksa mengungsi.
Berdasarkan peta area terdampak, luas wilayah penanganan sosial kemasyarakatan dari bencana semburan�Lumpur�Lapindo�mencapai 1.143,3 hektare.
Penyebab terjadinya semburan gas disertai lumpur panas hingga kini masih misterius.
Sudah 16 tahun berlalu sejak pertama kali bencana Lumpur Lapindo menyembur.�
Hingga detik ini, belum bisa diprediksi secara pasti kapan�Lumpur�Lapindo�benar-benar berhenti.
Untuk menangani bencana ini, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus menggelontorkan anggaran dalam jumlah yang tidak sedikit.
sumber: Bangkapos.com