Nature

Tantangan Perkebunan Kulit Kayu Manis di Sumbar di Tengah Tingginya Permintaan

Produktivitas komoditas kulit kayu manis di Provinsi Sumatra Barat terbilang rendah padahal memiliki permintaan pasar yang cukup besar.

Data Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumbar mencatat untuk total luas tanaman kulit kayu manis di Ranah Minang mencapai 29.744,30 hektare, tapi tidak seluruh lahan itu yang terbilang menghasilkan.

“Luas lahan yang masih produktif itu 12.887,66 hektare saja dari total lahan 29.744,30 hektare tersebut. Sisanya tidak menghasilkan, dengan alasan berbagai kondisi yang terjadi di lapangan,” kata Sekretaris Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumbar Ferdinal Asmin, Kamis (3/10/2024).

Dia merinci dari total lahan yang masih menghasilkan itu yakni 12.887,66 hektare tersebut diperkirakan produksi per tahun 15,800,22 ton. Lahan yang terluas di Sumbar itu terdapat di Kabupaten Solok yakni 4.858,19 hektare dengan produksi 1.719,80 ton.

Di Solok ini meski lahannya terbilang luas, lanjut Ferdinal, tapi untuk produksi masih jauh di atas produksi yang ada di Kabupaten Agam yakni 5.143,03 ton, dan Agam ini punya lahan 922,52 hektare.

“Kenapa Agam lebih tinggi produksinya, karena petani setempat memelihara tanaman kulit kayu manis dengan baik,” ungkapnya.

Sementara daerah yang memiliki lahan dan produksi yang paling rendah di Sumbar itu yakni Kota Bukittinggi dengan luas 577,14 hektare dan produksi 1,21 ton per tahun.

“Jadi dari 19 daerah di Sumbar ini, hanya di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang tidak memiliki kawasan perkebunan kulit kayu manis,” katanya.

Selain itu bicara soal panen kulit kayu manis ini, ujar Ferdinal, periodenya cukup lama yakni 5 sampai 8 tahun. Dengan demikian data produksi kulit kayu manis tersebut akan terus berubah-ubah setiap tahunnya.

Belum lagi adanya perubahan data dan kondisi di perkebunan yakni adanya tanaman belum menghasilkan yang luasnya mencapai 15.774,89 hektare, kemudian ditambah adanya tanaman yang sudah tua/rusak 1.081,75 hektare.

“Tanaman yang belum menghasilkan ini maksudnya tanaman muda, belum bisa dipanen lagi. Jadi, bila tiba masa panennya nanti untuk luas 15.774,89 hektare itu, maka akan berdampak pada produktivitas,” sebutnya.

Di satu sisi, Ferdinal mengakui memang ada tantangan tersendiri bagi Sumbar untuk terus mendorong produktivitas kulit kayu manis ini, karena cukup banyak kulit kayu manis asal Sumbar yang di ekspor ke berbagai negara.

Dia menjelaskan tantangan perkebunan kulit kayu manis ini seperti komoditi pertanian yakni terkait peningkatan produktivitas. Dimana untuk menjamin produktivitas yang tinggi, perlu memastikan ketersediaan benih unggul.

“Kami sudah memiliki pohon induk (blok penghasil tinggi) untuk kulit manis, seperti di Malalak (Kabupaten Agam), dan juga mendorong petani menerapkan good agriculture practices dalam budidaya kulit manis,” kata dia.

Kemudian tantangan lainya juga perlu memastikan hilirisasi produk, dan untuk mencapai hal tersebut, memerlukan peran para pihak untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani.

Ferdinal menegaskan persoalan adanya beberapa areal kulit kayu manis yang masih ditemui berada dalam kawasan hutan, juga menjadi tugas kedepan, agar produksi bisa digenjot.

Menurutnya solusi dari hal itu, areal budidaya kulit kayu manis ini bisa menjadi bagian dari areal Perhutanan Sosial yang perlu mendapatkan rekognisi dari pemerintah.

“Melalui program Perhutanan Sosial yang dilahirkan KLHK itu, kami melihat bisa memperluas lahan perkebunan kulit kayu manis ini,” ucapnya.

Dia melihat kondisi yang terjadi saat ini bukan tidak adanya minat masyarakat untuk berkebun kulit kayu manis, tapi soal ketersediaan lahan yang terbilang cukup terbatas.

“Panen memang lama, tapi bukan itu penyebab tidak begitu banyak masyarakat yang menanam kulit kayu manis itu. Karena ada beberapa petani yang menganggap kulit manis adalah tanaman tahunan yang perlu dipelihara dan ditanam bersama tanaman semusim lainnya,” jelas Ferdinal.

Tidak hanya itu, bicara dari sisi ekonomi, lanjut Ferdinal, harga dari kulit kayu manis yang telah kering itu beragam yaitu berkisar Rp15.000 hingga Rp35.000 per kilogramnya.

“Untuk kulit kayu manis, harga Rp15.000 hingga Rp35.000 per kilogramnya itu sudah bagus,” ungkapnya.

Sementara itu, melihat dari data volume ekspor yang tercatat di Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (BKHIT) Provinsi Sumbar, ekspor komoditas kulit kayu manis asal Sumbar ini telah tembus ke berbagai negara, baik Eropa maupun Asia.

Kepala BKHIT Sumbar Ibrahim menjelaskan berdasarkan data yang terbaru di tahun 2024 ini, total kulit kayu manis asal Sumbar yang telah di ekspor itu sebanyak 4.200 ton lebih, dengan tujuan ke berbagai negara, seperti ke Vietnam, Kanada, Malaysia, Portugal, Polandia, Inggris, dan beberapa negara di Eropa lainnya.

“4.200 ton itu, kalau dibandingkan volume ekspor tahun 2023 itu lebih banyak bahkan di bandingkan posisi sekarang di tahun 2024. Tahun 2023 itu jumlah ekspor kulit kayu manis asal Sumbar 5.200 ton,” jelasnya.

Ibrahim menyampaikan banyaknya volume ekspor di tahun 2023 itu karena lalu lintasnya/frekuensi ekspornya cukup sering yakni tercatat 312 kali pengiriman.

Sedangkan kondisi yang terjadi hingga saat ini di tahun 2024 sebanyak 226 pengiriman. Dari beberapa bulan yang tersisa ini, mungkin saja akan ada kembali ekspor kulit kayu manis asal Sumbar.

“Untuk komoditas kulit kayu manis ini, memang terbilang masih kecil, bila dibandingkan komoditas lainnya yang telah melakukan ekspor,” tegasnya.

Terpisah, Kepala Kanwil DJPb Sumbar Syukriah HG melihat komoditas kulit kayu manis sebenarnya memiliki pangsa pasar untuk diekspor. Artinya masih bisa digenjot secara volume, karena kebutuhan kulit kayu manis di pasar global cukup besar.

Menurutnya bila Pemprov Sumbar mendorong atau membantu perkebunan kulit kayu manis ini untuk meningkatkan produktivitas, maka akan membantu meningkatkan ekspor Sumbar, yang selama ini mengandalkan ekspor minyak kelapa sawit atau CPO.

Dia menjelaskan saat ini realisasi penerimaan dari ekspor atau Bea Keluar yang tercatat di Bea dan Cukai Teluk Bayur belum begitu baik. Melihat pada periode Januari – Agustus 2024 itu mencapai Rp245,78 miliar atau terealisasi sebesar 26,41% terhadap target tahun 2024.

“Hal ini dipengaruhi menurunnya ekspor komoditas CPO di Sumbar,” ujarnya.

Dikatakannya agar Sumbar tidak terpaku pada satu komoditas seperti CPO yang menjadi ekspor unggulan, ada baiknya berupaya mendorong komoditas lainnya untuk meningkatkan ekspor.

Dia melihat komoditas kulit kayu manis memiliki potensi untuk digenjot produktivitasnya, sehingga ekspornya pun bisa ditingkatkan.

Menurutnya Pemprov Sumbar perlu bergerak mencarikan solusi untuk meningkatkan ekspor itu, karena kondisi tersebut bakal menimbulkan rendahnya nilai penerimaan dana bagi hasil (DBH) bagi pemerintah daerah.

“Jadi ekspor ini manfaat yang bakal dirasakan pemerintah daerah itu soal DBH nya. Sementara bagi kami di Kemenkeu soal penerimaan pajaknya,” ungkap dia.

Untuk itu dia melihat perlu ada langkah strategi untuk mendorong komoditas lainnya di Sumbar yang bisa menghasilkan produk yang layak di ekspor.

sumber: bisnis.com

Author: Ferry Nababan

Leave a Reply