Ulat Sagu, Kuliner Gurih Khas Danau Sentani Jayapura Papua

Ulat sagu menjadi kuliner khas bagi masyarakat yang tinggal di pesisir Danau Sentani di Kabupaten Jayapura.

Ulat sagu bisa didapat dari dalam batang pohon sagu yang tua dan sudah tumbang atau sengaja ditebang sebagai media berkembangnya ulat sagu.

Bagian dalam batang pohon sagu penuh dengan zat tepung yang menjadi makanan ulat-ulat ini. Ulat sagu berwarna putih, berukuran tiga hingga empat sentimeter.

Ulat ini sebenarnya adalah larva kumbang penggerek rhynchophorus ferrugineus.

Protein Ulat Sagu

Masyarakat Sentani yang sedang membakar sate ulat sagu. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
Masyarakat Sentani yang sedang membakar sate ulat sagu. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Ulat sagu memiliki kandungan protein, namun sebagian besarnya adalah lemak. Ulat sagu dan jamur sagu menjadi menu tambahan bagi masyarakat Danau Sentani, karena tidak setiap saat ulat ini bisa dijumpai.

Untuk seratus gram ulat sagu, mengandung 181 kalori dengan 6,1 gram protein dan 13,1 gram lemak.

Hari Suroto, peneliti pada Balai Arkeologi Papua menyebutkan ulat sagu dan kuliner berbahan sagu sudah dikenal sejak masa prasejarah.

Hal ini berdasarkan temuan wadah gerabah di situs-situs arkeologi di kawasan Danau Sentani. Wadah gerabah pada masa lalu berfungsi untuk mengolah papeda atau bubur sagu. Papeda lebih banyak karbohidrat, sebagai sumber proteinnya ulat sagu dan jamur sagu.

“Situs-situs hunian prasejarah di Danau Sentani berdekatan dengan hutan sagu. Oleh masyarakat Sentani, ulat sagu dimasak menjadi sate atau dimakan langsung hidup-hidup atau mentah,” kata Hari, Minggu (27/12).

Hari menerangkan, biasanya masyarakat memakan ulat sagu langsung dengan kepalanya. “Rasanya manis bermentega,” ujarnya.

Tinggi Lemak

Sate ulat sagu, kuliner khas warga yang tinggal di pesisir Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
Sate ulat sagu, kuliner khas warga yang tinggal di pesisir Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Ulat sagu juga tak cocok digoreng karena berlemak tinggi. Selain itu, cara masak lainnya yaitu ulat sagu dicampur dengan tepung sagu, selanjutnya dipanggang di atas bara api. Rasanya sangat nikmat karena lemak ulat sagu akan meresap dalam tepung sagu.

Dalam budaya Sentani, ulat sagu dan jamur sagu merupakan makanan wajib bagi perempuan Sentani yang hamil. Jika ada anggota keluarga mendapati ulat sagu dan jamur sagu di hutan, maka ia akan menyerahkannya ke saudaranya yang hamil.

“Pohon sagu pun dianggap sebagai ibu bagi masyarakat Sentani. Maka jika merusak hutan sagu atau menebang pohon sagu sembarangan, maka sang ibu akan marah dan tentu saja akibatnya akan sulit mendapatkan tepung sagu sebagai bahan papeda,” katanya.

Bagi traveler yang ingin merasakan ulat sagu. Kuliner ulat sagu tidak dijumpai di restoran seputaran Sentani. Ulat sagu hidup dapat dibeli di Pasar Lama Sentani.

“Ulat sagu dan jamur sagu banyak dijual di sore hingga petang di Pasar Lama Sentani, biasanya dijual per plastikdengan harga Rp 25 ribu berisi sekitar 30 ekor ulat sagu,” Hari menambahkan.

sumber: bumipapua.com

Author: Bang Ferry

GEOLOGIST LIKE COFFIE

Leave a Comment