Uniknya Pasar Sanggrahan Magelang, Banyak Tukang Cukur Tradisional Hingga Penjual Rokok Kemenyan

23 Jun 2023 3 min read No comments Info Wisata
Featured image

Pasar identik dengan aktivitas jual beli hingga keriuhan ibu-ibu yang sibuk menawar harga. Suasana itu juga yang terjadi di Pasar Sanggrahan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, yang ramai dipadati pembeli dan penjual.

Namun, ada yang unik dari tempat ini. Sebab, Pasar Sanggrahan hanya buka saat weton kalender Jawa jatuh pada ‘Wage’.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menyebutnya juga Pasar Wage karena di luar weton tersebut, tempat ini tutup. Saat menapaki lokasi tersebut, pengunjung juga akan melihat keunikan lainnya di Pasar Sanggrahan alias Pasar Wage, yakni banyaknya kios cukur tradisional.

Menurut pantauan Tempo, terlihat perbedaan kios cukur tradisional dengan barber shop atau tukang potong rambut Madura, yakni alat cukur yang digunakan. Barber shop menggunakan gunting dan pemangkas bertenaga listrik, sedangkan tukang cukur tradisional sama sekali tidak menggunakan alat mesin alias semua dikerjakan secara manual.

Tukang cukur tradisional di Pasar Sanggrahan. Tempo/Arimbihp

Tak hanya itu, pemotong rambut yang melayani pelanggannya juga rerata sudah berusia lebih dari 50 tahun. Salah satunya Darmono, 70 tahun, yang sudah menghabiskan separuh usianya untuk menjadi tukang cukur di Pasar Sanggrahan.

“Saya menjadi tukang cukur sejak usia 17 tahun, sebelumnya membantu ayah saya, tukang cukur juga” kata Darmono kepada Tempo, Sabtu, 17 Juni 2023.

Setiap mencukur, Darmono hanya mematok tarif Rp 3.000 untuk orang dewasa dan Rp 2.000 untuk anak-anak. “Yang pasti modelnya jangan aneh-aneh, standar biasa saja seperti umumnya,” kata dia.

Di usia senjanya, setiap Wage, Darmono berangkat dari rumah setelah salat subuh menggunakan sepeda ke Pasar Sanggrahan. Lapak miliknya selalu ramai, karena ia termasuk datang pagi dan melayani pelanggan dengan sigap.

Berbekal gunting biasa dan kaca, Darmono bisa mencukur 20 hingga 30 orang setiap Pasar Sanggrahan buka. Tak hanya Darmono, di Pasar Sanggrahan ada lebih dari 15 orang yang membuka jasa potong rambut.

Selain jasa potong rambut tradisional, di Pasar Sanggrahan terdapat banyak pande besi atau pengrajin senjata tajam dan alat serupa seperti pisau, sabit, cangkul dan lain-lain. Sebab, menurut cerita tutur masyarakat setempat, Pasar Sanggrahan adalah tempat tinggal para pemasok pengrajin senjata Pangeran Diponegoro.

Meski demikian, sesepuh desa Pakis, Slamet (70) mengatakan belum ada bukti sejarah yang menunjukkan desa tersebut memang merupakan pemasok senjata.

Jika tertarik berbelanja alat potong, pengunjung tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Sebab, barang yang dijual di Pasar Sanggrahan juga cukup variatif, mulai dari Rp 15.000 untuk pisau biasa hingga ratusan ribu untuk perkakas lainnya.

“Dalam sekali ‘pasaran Wage’ biasanya bisa menjual 15 sampai 30 alat, tidak tentu, tapi yang paling laris cangkul, sabit, pisau,” kata salah seorang pedagang, Bekti (58).

Tak hanya menjual, Bekti memproduksi sendiri alat-alat berbahan besi tersebut. “Setiap hari buat di rumah, daerah Ndaleman, Pakis, tapi jualnya cuma saat Wage saja,” ujarnya.

Saat berdagang, Bekti biasanya berangkat bersama kedua rekannya yang juga berprofesi sebagai pande besi. “Memang daerah sini (Sanggrahan) dan Ndaleman banyak yang kerjanya pande besi, sudah turun-temurun dari buyut, tidak tahu sejak kapannya yang pasti sudah lebih dari 40 tahun,” jara dia.

Puas melihat-lihat aneka senjata dan alat-alat besi, pengunjung bisa melihat deretan pedagang tembakau kiloan yang menjajakan dagangannya. Tembakau yang dijual di Pasar Sanggrahan dijajar di atas plastik dalam bentuk gulungan dengan berbagai warna dan aroma.

Tembakau-tembakau itu didatangkan dari berbagai daerah seperti Magelang, Temanggung dan Madura. Biasanya, para pedagang menjual tembakau sepaket dengan papir (kertas untuk menggulung tembakau), cengkeh dan kemenyan.

Bagi sebagian orang, mungkin tradisi membubuhkan kemenyan pada rokok lintingan memang terlihat aneh dan berbau mistis. Namun hal itu justru menjadi kebiasaan dan ciri khas masyarakat Pakis, Magelang.

Bagi mereka, rokok lintingan tanpa kemenyan terasa kurang mantap. Tak heran, sepanjang jalan yang menjual tembakau, akan tercium aroma kemenyan dan rokok yang menyengat.

Melewati lapak tembakau, pengunjung akan memasuki area jual beli ternak yang tak kalah ramainya dengan lainnya. Setidaknya terdapat 34 pedagang kambing dan 15 pedagang sapi yang berada di Pasar Sanggrahan.

Masing-masing pedagang ternak membawa 5 hingga 6 ternak untuk dijual. “Kalau pas ramai bisa habis, kalau sepi ya paling sisa 1 atau 2,” kata salah seorang pedagang ternak, Ngadimin (60)

Ngadimin mengatakan harga kambing dan sapi yang ia jual cukup variatif dan berani bersaing. “Mulai dari Rp 2.000.000 untuk kambing dan Rp 17.000.000 untuk sapi, tergantung jenis, bobot dan bentuknya,” jata Karmin.

Terlebih, satu pekan lagi, masyarakat akan merayakan Idul Adha sehingga kambing dan sapi menjadi buruan utama.”M “Untuk Idul Adha sudah banyak yang booking harganya semakin dekat semakin mahal,” kata Ngadimin.

Puas berkeliling, pengunjung juga bisa mencicipi kuliner khas Pasar Sanggrahan, yakni nasi jagung berlauk ikan asin dan sambal bawang. Satu porsi nasi jagung hanya dibanderol Rp 5.000, sudah termasuk lauk, sayur dan sambal.

“Sehari bisa laku sekitar 30 – 40 porsi, tidak tentu tapi pasti habis,” kata seorang pedagang nasi jagung, Trinil (58).

Ibu dua orang anak yang sudah 20 tahun berjualan di pasar tersebut mengaku enggan menaikkan harga meski bahan pokok dan kebutuhan terus bertambah. “Biar segini saja, sudah cukup, hanya berjualan di sini, tidak buka cabang biar mampirnya ke sini,” kata Trinil.

sumber: tempo.co

Author: Ido Jour

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *