Dari Membuat Beragam Batik, Sekolah ini Ajak Siswa Kenali Potensi Utama Wisata Yogyakarta

Kerajinan batik dan aktivitas membatik menjadi satu kekhasan Yogyakarta yang tak hanya mudah ditemui di sentra-sentra batik tertentu. Di sebagian sekolah dasar dan menengah di Kota Yogyakarta aktivitas membatik sebagai ekstrakulikuler pun cukup marak.

Dari membatik itu, sejak dini para siswa diajak mengenali potensi utama wisata Yogya. Salah satu sekolah dasar yang memberikan ruang bagi siswanya secara penuh untuk mempelajari dan membuat berbagai kerajinan batik itu, yakni Sekolah Dasar Negeri Klitren Kota Yogyakarta.

Tak hanya membuat ragam batik, siswa di sekolah itu secara berkala didorong memamerkan karyanya pada publik. “Ada lima sampai enam jenis batik yang dipelajari dan dibuat siswa di sekolah ini,” kata Kepala SD Klitren Kota Yogyakarta Sri Wahyuni di sela gelar karya di sekolah itu, Kamis, 25 Mei 2023.

Batik yang dibuat dan dipelajari siswa sekolah itu mulai batik tulis, batik cap, batik jumputan, ecoprint, dan batik lukis.

Tak hanya itu, dalam pameran itu ada pula kelompok siswa yang membuat batik shibori. Batik shibori merupakan satu jenis batik jumputan khas Jepang yang menekankan teknik pewarnaan kain dengan menciptakan motif dari lipatan.

“Beberapa kain batik yang dibuat siswa itu ada pula yang sudah dibuat menjadi baju dan dipakai,” kata Sri.

Dalam pameran yang digelar bersamaan dengan forum kunjungan silang komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang diikuti pendidik asal Bali hingga Papua itu, Sri mengungkap di sekolah itu siswa diberi ruang belajar membatik sejak kelas 4 SD. Hal ini untuk menyesuaikan kurikulum Merdeka Belajar yang di dalamnya terdapat materi P5 atau Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang mendorong siswa beraktivitas dalam satu proyek di dalam maupun di luar kelas.

“Pembelajaran di luar kelas itu salah satunya membatik, karena itu potensi lokal Yogya, siswa belajar mengenal dan beradaptasi tentang potensi lokal daerahnya sendiri,” ujar Sri.

Menjadi proyek siswa

Batik-batik kerajinan siswa itu, kata Sri, dibuat berkelompok berbasis proyek setiap semester. Misalnya dalam satu kelas ada 22 siswa, maka proyek yang dihasilkan bisa lima hingga enam karya.

“Sejak dini siswa belajar bagaimana memegang canting, menyiapkan bahan, mengenali teknik sampai mendiskusikan bersama motif dan jenis batik yang akan dibuat,” kata Sri.

Menurut Sri, pemberian ruang belajar bagi siswa untuk mengeksplorasi potensi batik itu sudah dilakukan setahun terakhir. “Kami melakukan manajemen kelas, mengajak guru menjadi pendamping, untuk membuat kegiatan yang benar benar disukai siswa,” ujarnya.

“Jika kegiatan yang disukai siswa itu sudah ditemukan, maka bisa menggali lebih dalam minat dan bakat siswa lebih optimal,” Sri menambahkan.

Pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga pendiri gerakan sekolah menyenangkan Muhammad Nur Rizal dalam event itu mengatakan, eksplorasi bakat siswa bisa dilakukan melalui pembelajaran project base (berbasis proyek) atau problem base (memecahkan persoalan). Sebab, standar pengetahuan tak melulu diukur dari nilai ujian atau ulangan semata.

“Dari SD Klitren ini pendidik dari berbagai daerah Indonesia yang datang diajak melihat perubahan yang terjadi di sekolah yang memberi ruang bagi siswa mengeksplorasi bakat dan potensinya lewat project atau karya yang dibuat,” kata Rizal.

Lewat karya yang dihasilkan siswa itu, menurut Rizal, ada pola pikir yang dibalik dari sistem di sekolah yang dievaluasi bukan lagi siswanya, melainkan gurunya. “Bagaimana guru bisa mengoptimalkan potensi bawaan unik para siswa didiknya,” kata dia.

Rizal menuturkan perubahan yang ingin dicapai dari gerakan di sekolah itu memberi kemerdekaan bagi siswa menemukan bakat dan potensinya. “Jangan sampai siswa terasing dari apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan sehari hari di luar sekolah,” kata dia. “Karena sekolah ini berada di Yogyakarta yang merupakan kota wisata budaya, siswa pun perlu belajar potensi wisata budaya yang ada di Yogya melalui ruang ruang yang disediakan di sekolah.”

sumber: tempo.co

Author: Gerai Kendhil

Leave a Comment