Kisah Si Bunga Paku, dari Iskandariyah hingga Srilanka

28 Dec 2023 3 min read No comments Blog

“Tuhan telah menciptakan TImor untuk Kayu Cendana dan Banda untuk Pala serta Maluku untuk Cengkih …” Tome Pires, (1512-1515).

Kutipan di atas sebenarnya bukan komentar langsung dari Tome Pires. Dia mengutip ucapan seorang pedagang Melayu yang dia temui waktu dia sedang berada di Malaka. Ketiga barang sangat berharga yang menjadi incaran para pelaut pendatang memang tidak ditemukan di tempat lain kecuali di tempat ini. Dengan keberuntungan yang dibawa oleh angin kapal akan sampai ke Maluku dalam enam atau tujuh hari.

Maluku, tepatnya di Kepulauan Maluku Utara, cengkih tumbuh dengan sendirinya. Bahkan hingga saat ini cengkih mudah dijumpai di mana-mana. Seorang kawan yang berdarah Ternate suatu ketika pernah bercerita. “Zaman BPPC adalah zaman paling buruk, …. di mana-mana cengkih berserakan bertumpuk seperti gundukan bunga layu … sama sekali tidak ada harganya,” kata dia menceritakan kampung halamannya di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara. Saat itu adalah paruh pertama 90-an.

Cengkih Si Bunga Paku. Buah rempah itu sering disebut sebagai Bunga Paku karena bentuk jadinya memang mirip paku. Para pemburu rempah menyebutnya sebagai emas cokelat. Konon, katanya, pada zaman perburuan rempah-rempah menjelang abad 15 masehi setengah kilo cengkih bisa membeli tiga kambing. Orang-orang Eropa yang beriklim dingin sangat menghargai khasiat bunga paku itu. Dia menjadi penghangat kala dingin menusuk. Dia menjadi pelega tenggorokan. Bisa mengurangi bau mulut, membuat wewangian, dan lebih berguna lagi untuk mengawetkan daging selama persediaan musim dingin.

Orang Cinalah yang tercatat pertama kali dalam sejarah sekitar 2.300 tahun yang lalu menggunakan cengkih. Seorang Kaisar China mengharuskan orang untuk mengunyah cengkih saat berbicara di depannya. Saat orang Eropa Utara mengetahui kegunaannya di sekitar tahun 1200, rempah-rempah ini menjadi sangat berharga. Cengkih bahkan bisa digunakan sebagai alat tukar.

Tamak karena Cengkih

Menjelang keruntuhan Soeharto di awal 90-an, anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra atau Tommy, tergiur dengan harga cengkih yang selalu tinggi. Petri Matanasi dari Tirto.id pernah menulis kemakmuran petani cpada akhir 70-an hingga 80-an. Banyak petani cengkih pada saat itu hidup makmur. Di sekitar Manado, Sulawesi Utara, penjualan mobil meningkat pesat karena harga cengkih yang membaik.

Seorang petani di Wioi, Ratahan, Minahasa, bisa membeli sebuah mobil Datsun hanya dengan menjual 250 kilogram cengkih. Ketua Indomobil pada waktu itu, Subronto Laras, juga mengatakan bahwa penjualan mobil pernah “booming” pada tahun 1980 dan 1981 yang disebabkan panen raya cengkih di Manado.

Harga cengkih pada waktu itu 15 (lima belas) ribu per kilo. Nilai tukar dolar sekitar 220 rupiah, sedangkan harga satu gram emas 9 (sembilan) ribu rupiah. Konon pengusaha Probosutedjo menjadi kaya raya karena mengimpor cengkih. Alih-alih membiarkan petani menikmati harga yang tinggi, pengusaha di sekitar Soeharto itu malah impor dari Zanzibar sejak akhir 60-an. Kebutuhan yang tinggi dari industri kretek adalah peluang yang tidak disia-siakan. Keuntungan itu bahkan bisa masuk menjadi dana nonbujeter yang disebut sebagai bantuan presiden atau banpres. Salah satu yang menggunakan dana banpres adalah pembangunan rumah sakit pusat angkatan darat.

Tetapi, rejeki emas coklat itu tercium oleh anak bungsu Soeharto. Tommy yang masih berusia 28 tahun pada waktu itu diangkat menjadi ketua konsorsium perdagangan cengkih yang disingkat BPPC alias Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh. Pendiriannya dilakukan melalui Keputusan Presiden.

BPPC dalam sekejap menjadi gurita monopoli cengkih. Semua cengkih dari petani wajib dijual ke koperasi unit desa (KUD) yang akan dibeli oleh BPPC. Praktik itu ditambahi dengan kucuran kredit likuiditas Bank Indonesia senilai Rp569 miliar ditambah pinjaman komersial Bank Bumi Daya sebesar Rp190 miliar.

Di lapangan yang terjadi adalah dana kredit tidak disalurkan, pinjaman masuk ke kantong pribadi. Sedangkan petani harus mau berhadapan dengan “VOC” baru. Harga dipermainkan sesukanya. BPPC membeli dari petani dengan harga terendah dan menjual ke industri dengan harga tertinggi. Sebelum ada BPPC, harga terendah sekitar Rp20 ribu per kilo, setelah ada gurita itu harganya menjadi Rp2000. Seketika emas coklat menjadi onggokan sampah.

Cerita Lama

M Adnan Amal dalam bukunya Kepulauan Rempah-Rempah (2006) menyelusuri catatan-catatan lama tentang cengkih. Temuan arkeolog menemukan benda serupa cengkih yang berumur sekitar 1.700 tahun sebelum Masehi di Terqa, Mesopotamia, (sekarang Suriah). Tetapi temuan itu masih meragukan karena hanya memiliki kemiripan. Belakangan temuan ini disebut sebagai kesalahan identifikasi. Temuan terbaru pada 2018, dalam sebuah penggalian di situs Mantai, Srilangka, telah diketemukan fosil cengkih. Setelah melalui perhitungan karbon umurnya diperkirakan 200 tahun sebelum Masehi.

Temuan di Srilanka sepertinya mengkonfirmasi kisah dalam Epos Ramayana yang telah mencatat keberadaan cengkih sebagai tanaman obat. Ptolemy atau Plinius menyebutkan bahwa sekitar tahun 70 sebelum Masehi cengkih telah diperdagangkan secara teratur di Erocengkih adalah barang yang mewah yang tidak diketahui dari mana asalnya.

Rujukan tentang cengkih dalam literatur timur terdapat dalam kepustakaan Cina periode Han (220-206 SM). Dia disebut sebagai “Rempah Tenggorokan Ayam” alias ting hiang atau terjemahannya “rempah paku” alias si Bunga Paku. Sementara itu sebuah catatan pada tahun 176 hingga 180 menyebutkan bahwa di Iskandariyah, Mesir, telah dicatat oleh bea cukai sana tentang impor cengkih dari timur. (Y-1)

sumber: indonesia.go.id

Author: Gerai Kendhil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *